Wisma SejahteraIncredible offer for our exclusive subscribers!Read More
38°C
17 February 2025
Teologi Konseptual

Gereja, Kewirausahaan, dan Keadilan

Avatar photo
  • December 1, 2023
  • 11 min read
Gereja, Kewirausahaan, dan Keadilan

Gereja dan kewirausahaan (entrepreneurship) sering dianggap dua kata yang tidak dapat disatukan bahkan seringkali dianggap berlawanan. Banyak yang menganggap tugas gereja adalah memberikan rambu-rambu yang bersifat mengekang dan mengawasi pemikiran, perkembangan budaya dan keyakinan. Sebaliknya, kewirausahaan adalah pendobrakan gagasan, kebiasaan, dan keyakinan. Gereja cenderung mencurigai sedangkan kewirausahaan dan perubahan. Wilayah gereja dianggap sakral, jauh dari keuntungan dan jualbeli. Sebaliknya, wilayah kewirausahaan sering dianggap terutama di dunia bisnis. Benarkah begitu?

Allah: Penjaga atau Pembaru Tradisi?’

Sebenarnya, teologi Kristen berpangkal pada keyakinan kepada Allah sebagaimana dipersaksikan dalam Alkitab. Gambaran Allah dalam Alkitab sangat variatif tetapi yang sangat menonjol bukanlah sosok Allah yang statis dan anti perubahan. Bukan pula Allah yang cuma duduk di singgasana yang steril dari kerja sehari-hari. Sebaliknya, Alkitab memerkenalkan Allah yang terlibat aktif dalam kehidupan umatnya. Ia tidak hanya sekali mencipta dan kemudian meninggalkan ciptaannya, tetapi ikut berjuang bersama dan berkorban demi umatnya. Gambaran-gambaran yang dipakai dalam Alkitab seperti Gembala, Prajurit (bala tentara), Tiang Awan dan Tiang Api, Penyelamat, Penyembuh, dan Penebus melukiskan karakter Allah yang aktif bekerja dan terus melakukan pembaruanpembaruan. Mazmur menggambarkan Allah sebagai Penjaga yang “tidak terlelap dan tidak tertidur” (Mazmur 121:4). Selain itu, Alkitab juga mengakui kekacaubalauan menjadi dunia yang indah dengan kehidupan yang terintegrasi di dalamnya (Kejadian 1), dan dalam memelihara ciptaannya, kasih setianya “selalu baru setiap pagi” (Ratapan 3:23).

Dalam Perjanjian Baru, Yesus memahami hubungannya dengan Bapa sebagai hubungan keluarga yang berkarya secara produktif (Yohanes 5:19-20). Demikian pula, iman bukan soal omongan saja tetapi mesti diwujudkan dengan berkarya (Matius 7:21). Ajaran Yesus “Khotbah di Bukit” bukan sekadar ulangan atau penegasan terhadap tradisi tetapi sebuah inovasi yang berani. Karena sifatnya yang inovatif itulah para pendengar “Khotbah di Bukit” menjadi “takjub” karena tidak seperti ajaran yang biasa didengar (Matius 7:28). Gereja perdana melanjutkan sifat kreatif dan inovatif yang terkandung di dalam Injil, sehingga mereka mampu berkembang di konteks sosial yang lebih luas daripada wilayah Palestina dan budaya Yahudi, dengan menjadi komunitas yang kreatif dan dinamis, baik secara teologis maupun strategis (misi dan pastoral). Mereka menerima secara kritis unsur-unsur tradisi baru dari budaya-budaya sekitar yang diapresiasi dengan sebutan “karunia-karunia Roh” (I Korintus). Selaras dengan itu, dalam Surat Yohanes, Allah sendiri dipahami sebagai cinta yang berinisiatif, menginspirasi, dan memotivasi (I Yohanes 4:7- 21).

Dengan perkataan lain, Alkitab, baik Perjanjian Lama maupun Perjanjian Baru, memersaksikan Allah yang bekerja, dan bukan asal bekerja, melainkan bekerja secara kreatif, inovatif, produktif, tidak mudah menyerah, serta tidak kenal lelah. Gereja perdana memahami karakter Allah yang seperti itu sebagai acuan bagi kerja gereja sendiri. Rumusan misi perutusan muridmurid Yesus sebagaimana dicatat dalam Lukas 9:1-6 (“… menguasai setan-setan dan … menyembuhkan penyakitpenyakit) dan Matius 28:18-20 (menjadikan semua bangsa murid Yesus) menyatakan suatu proyek besar yang mustahil dilakukan oleh orang yang tidak memiliki sifat-sifat kreatif, inovatif, produktif, tidak mudah menyerah, dan tidak kenal lelah.

Apakah Kewirausahaan

Kewirausahaan adalah tentang sifat-sifat seperti tersebut di atas. Seorang wirausahawan (entrepreneur) adalah orang yang optimis terhadap perubahan, tidak mudah ciut nyalinya ketika menghadapi tantangan berupa target dan visi yang tampak jauh dari kondisi yang ada sekarang. Seorang entrepreneur tidak pernah puas dengan apa yang ada, dan selalu mencari celahcelah yang memungkinkannya melakukan perubahan melalui inovasi dan perjuangan tak kenal lelah. Kewirausahaan adalah penolakan untuk terikat pada kondisi dan batas-batas yang ada. Kewirausahaan adalah gugatan terhadap kungkungan tradisi dan kebiasaan. Orang sering mengaitkan kewirausahaan dengan bisnis. Memang benar, yang paling sadar mengkaji dan mengembangkan kewirausahaan adalah dunia bisnis karena di sana sangat terasa kebutuhan untuk bertahan dan memenangi kompetisi. Namun kewirausahaan bukanlah semata-mata demi bisnis sendiri. Menurut penelitian Peter Sedgwick terhadap para pebisnis kecil dan menengah di Inggris, motivasi para wirausahawan di dunia bisnis lebih tentang pencarian makna personal dan sosial ketimbang semata-mata tentang mencari keuntungan ekonomik. Pilihan untuk berbisnis lebih disebabkan karena di dunia bisnis lah mereka menemukan tantangan untuk membuktikan kecakapan profesional mereka dan kesempatan untuk mengungkapkan nilai-nilai kesadaran bahwa kewirausahaan dibutuhkan di bidang-bidang lain telah memunculkan konsep kewirausahaan sosial (social entrepreneurship), yaitu upaya menerapkan budaya kewirausahaan dalam programprogram sosial agar programproduktif, dan future-oriented.

Agama dan Kewirausahaan

Ada banyak faktor yang memengaruhi budaya kewirausahaan. Salah satu faktor yang sering disebut-sebut adalah tradisi agama, seperti yang telah diteliti oleh Max Weber yang menemukan hubungan antara ajaran-ajaran Protestan dengan budaya kewirausahaan yang kuat di Eropa. Menurut Weber, ajaran Luther tentang panggilan dan ajaran Calvin tentang predestinasi telah ikut membentuk mentalitas kewirausahaan orang-orang Protestan Eropa. Ajaran Luther tentang panggilan mendobrak konsep gereja sebelumnya yang membatasi panggilan hanya bagi para rohaniwan. Menurut Luther, panggilan Tuhan mencakup bukan hanya pekerjaan-pekerjaan kerohanian, tetapi juga pekerjaan-pekerjaan sekular. Ajaran Luther itu telah membuat orang Protestan merasa percaya diri dengan pekerjaan mereka, sehingga terdorong untuk bekerja lebih keras dan bekerja sebaik-baiknya. Hasilnya adalah hasil kerja mereka memiliki kualitas yang unggul dan menjadi kompetitif di pasar. Sedangkan ajaran Calvin tentang keselamatan yang ditetapkan sejak semula (predestinasi) juga telah membentuk mentalitas yang sama pada kaum Puritan dalam rangka membuktikan keselamatan mereka. Teori Weber tersebut telah menimbulkan kontroversi. Para pengkritik menganggap Weber mengabaikan prestasi ekonomi masyarakat-masyarakat non Protestan tertentu di Eropa pada waktu itu. Meskipun demikian, secara umum teori Weber masih diperhitungkan. Sosiolog Bernice Martin, misalnya, mengamati perkembangan di Amerika Latin belakangan ini dengan semakin menyebarnya Neo-Pentakostalisme. Ia menyimpulkan bahwa fenomena transformasi budaya ke arah kewirausahaan, seperti yang disebutkan Weber, terulang kembali pada kelompok masyarakat Amerika Latin yang berpindah ke gereja-gereja Neo- Pentakosta.

Mengapa ‘etos Protestan’ (Weber) tidak terjadi di Indonesia?

Mengapa fenomena terbentuknya budaya kewirausahaan tidak terjadi di kalangan masyarakat Protestan di Indonesia? Tidak seperti wilayah Protestan Eropa yang diteliti Weber, daerahdaerah mayoritas Kristen di Indonesia tidak punya reputasi tentang etos kerja yang tinggi dan gaya hidup yang hemat. Daerah-daerah itu juga tidak lebih makmur dan tidak lebih bersih dari korupsi ketimbang bagian-bagian lain negeri ini. Sebagian malah termasuk daerah termiskin. Sebabnya barangkali karena penekanan ajaran di gereja-gereja Protestan di Indonesia berbeda dengan di Eropa pada masa Weber. Di sini, egalitarianisme dan apresiasi terhadap kerja kurang mendapat perhatian. Yang ditekankan adalah ajaran tentang anugerah (sola gratia) yang dimaknai sebagai keselamatan tanpa kerja. Implikasi dari ajaran sola gratia, yaitu kerja sebagai ungkapan syukur, tampaknya kurang memotivasi. Barangkali karena budaya feodal sangat kuat dalam masyarakat kita. Perspektif feodalisme memahami ajaran sola gratia sebagai keunggulan kaum priyayi, yang dapat menikmati kenyamanan hidup tanpa perlu bekerja keras, semata-mata mengandalkan status keningratan. Pada masa kolonial, orang-orang kulit putih, termasuk para misionaris, diperlakukan sebagai kaum priyayi baru, dan karena itu keningratan kemudian dijadikan gambaran ideal oleh orangorang Kristen.

Di samping itu, banyak gereja Protestan di Indonesia mulamula menarik kalangan birokrasi pemerintah, sehingga budaya birokrasi yang menekankan peraturan, rambu-rambu, dan prosedur-prosedur menjadi lebih kuat ketimbang budaya entrepreneur yang luwes dan dinamis. Itu sebabnya gerejagereja Protestan di Indonesia cenderung sangat birokratis. Jemaat-jemaat diatur secara terpusat sehingga semuanya nyaris seragam sampai ke halhal yang sangat teknis. Tentu saja alasannya adalah demi kebersamaan dan kesatuan. Tetapi sebenarnya kebersamaan tidak perlu berarti keseragaman, dan kesatuan tidak perlu berarti pemusatan. Penekanan pada penyeragaman dan pemusatan membuat jemaat-jemaat setempat, yang sebenarnya berbeda satu dengan yang lain, tidak mampu atau tidak berani mengembangkan keunikankeunikan dirinya. Penyeragaman dan sentralisasi yang dilakukan di gereja-gereja Protestan di Indonesia sebenarnya agak sukar dicari padanannya di antara denominasi-denominasi Protestan di negara-negara lain, dan bahkan pada praktiknya melebihi yang dilakukan di gereja-gereja episkopal, termasuk Gereja Katolik Roma. Tampaknya budaya birokrasi Orde Baru yang militeristik juga memberi pengaruh yang persisten hingga saat ini.

Budaya birokrasi juga membuat gereja-gereja itu cenderung anti perubahan, takut menyimpang dari yang diajarkan oleh para misionaris dan pendeta Eropa dulu. Perubahan dianggap sebagai ancaman ke arah kehilangan identitas. Dari perspektif feodalisme, identitas bersifat statis dan berfungsi sebagai pagar yang mengamankan kemurnian diri. Karena itu identitas feodal bersifat anti perubahan. Semangat kewirausahaan memahami identitas secara berbeda. Identitas bersifat dinamis dan selalu perlu diperbarui dengan menyerap unsur-unsur yang baru ditemukan, baik yang berasal dari dalam sumber daya sendiri maupun dari perjumpaan dengan sumber-sumber luar. Kajian dan penelitian teologis yang dilakukan di sekolahsekolah teologi akademik di Indonesia sebenarnya tidak kalah majunya dengan di dunia Barat. Para teolog Indonesia telah menghasilkan banyak konsep ajaran, pandangan etis, dan desain pelayanan gerejawi yang lebih relevan bagi Indonesia abad 21, namun implementasinya di ranah gereja selalu mengalami resistensi yang kuat dari para penjaga institusi dan tradisi. Para teolog muda yang masuk ke dalam pelayanan gerejawi pun seringkali menghadapi dilema: memertahankan idealisme dengan resiko tersingkir dari struktur jabatan yang resmi atau bersikap pragmatis saja supaya aman kedudukannya sebagai pendeta. Dengan situasi yang seperti itu, pengalaman menggereja bukannya membangun semangat entrepreneurship melainkan justru melemahkannya.

Menjadi gereja yang sadar kewirausahaan

Jika ingin memainkan peran dalam pengembangan budaya kewirausahaan, gereja perlu terlebih dulu melakukan evaluasi diri: teologi macam apa yang dominan, jenis budaya apa yang kuat pengaruhnya, dan sistem serta kebijakankebijakan mendasar apa yang selama ini menjadi acuan kepemimpinan. Jika gereja masih terperangkap dalam feodalisme dan birokratisme, diperlukan kepemimpinan yang punya visi yang optimistik, konsep teologis yang kuat, dan semangat pembaruan yang serius. Ketiganya sebenarnya tersedia dalam sumber-sumber intelektual dan spiritual gereja, khususnya Alkitab dan teologi.

Penolakan teologis terhadap budaya priyayi-birokrasi menjadi sangat nyata dalam teologi inkarnasi yang merupakan salah satu pilar keyakinan Kristen. Umat Kristiani percaya bahwa Allah yang mahatinggi tidak tinggal diam di tahtaNya, melainkan telah turun ke dunia, menjadi manusia biasa dan mengalami kehidupan serta kematian manusiawi yang hina. Tindakan inkarnasi ini sendiri menegaskan bahwa Allah yang mahakuasa menolak bersikap sebagai priyayi-birokrat. Dalam pengajaran Yesus, Allah yang mahakuasa itu lebih sering disebut “Bapa.” Sedangkan ‘Kerajaan Allah’, konsep yang berakar pada tradisi Perjanjian Lama, digambarkan lebih sebagai keluarga Allah. Maka orang banyak yang mendengarkan pengajaran Yesus disebut bukan sebagai rakyat atau umat, tetapi sebagai “anak-anak Bapa” yang dikasihi. Dengan demikian, dalam pengajaran Yesus, hubungan dengan Allah lebih bersifat kekeluargaan ketimbang formal-feodal.

Lebih lanjut, Yesus mengajarkan konsep kepemimpinan bukan sebagai soal menguasai dan dihormati, melainkan sebagai soal melayani dan berkorban (Markus 10:42-45). Demi pelayanannya kepada orang-orang membutuhkan, Yesus seringkali melakukan terobosan-terobosan yang menggusarkan para penjaga hukum dan tradisi, yaitu ahliahli Taurat dan orang-orang Farisi. Teologi penyelamatan sebagaimana diungkapkan dalam Yohanes 3:16-18 pun sebenarnya menunjukkan Allah mengesampingkan pendekatan hukum dan formalisme, dengan melakukan terobosan melalui AnakNya demi menyelamatkan dunia yang dikasihiNya ini.

Kewirausahaan yang berkeadilan

Tidak semua tentang kewirausahaan patut dipuji. Kegandrungan terhadap kewirausahaan seringkali mengabaikan ekses budaya wirausaha yang pernah dikemukakan oleh para pakar sosiologi seperti Peter Berger dan Francis Fukuyama. Kewirausahaan menekankan optimalisasi kapasitas individu agar daya kreasi seseorang dapat menghasilkan karyakarya baru yang layak jual dan menjawab kebutuhan. Di sisi lain, budaya wirausaha dapat mendorong apa yang disebut “hyper-individualism” yaitu ketika kepentingan dan kapasitas individu digenjot sedemikian rupa sehingga mengabaikan kepentingan dan manfaat sosial. Apresiasi terhadap individuindividu produktif seringkali berdampak pelecehan dan marjinalisasi terhadap mereka yang gagal dalam kompetisi dan yang memiliki keterbatasan dalam kesempatan maupun Karena itu, program-program pengembangan kewirausahaan sering berbenturan dengan upaya-upaya menegakkan keadilan. Sebenarnya, keduanya tidaklah perlu dipertentangkan. Keadilan seharusnya menjadi komponen etis bagi kewirausahaan, sehingga yang dihasilkan bukan sekadar produk dan jasa yang bernilai ekonomik, tetapi juga menjamin keadilan bagi semua pemangku kepentingan. Demikian pula keadilan seharusnya juga mencakup bukan hanya soal distribusi tetapi juga soal produksi. Jika demikian yang diperlukan bukan sekadar entrepreneurship tetapi “justopreneurship” atau kewirausahaan yang berkeadilan.

Keseimbangan antara kewirausahaan dan keadilan tampak dalam karakter dan karya Yesus. Sikap Yesus terhadap tradisi menunjukkan keberanian berinovasi yang sangat kreatif. Dalam ‘Khotbah di Bukit’ ditegaskan bahwa yang diajarkanNya bukanlah sekadar yang “ada tertulis,” tetapi sesuatu yang lebih eskploratif dan lebih berkembang (Matius 5:17- 48). Itulah yang membedakan diriNya dengan para ahli Taurat yang sekadar menjaga dan meneruskan tradisi. Tidak heran para pendengar Khotbah di Bukit menjadi takjub (Matius 7:28-29). Baru kali itu mereka mendengar pengajaran yang dinamis dan aktual, yang mampu menerobos kebuntuan tradisi yang membosankan dan tidak efisien. Juga, tindakanNya menyembuhkan orang sakit pada hari Sabat adalah salah satu contoh bagaimana Ia mendobrak tradisi yang tidak produktif menjadi event yang transformatif, sehingga benarbenar patut dirayakan.

Di sisi lain, kepedulianNya yang nyata terhadap orangorang tersingkir, seperti yang ditunjukkanNya melalui mujizat penyembuhan, dan kemurahanNya terhadap mereka yang tidak berdaya sebagaimana dinyatakan melalui maklumat pengampunan dosa, menegaskan bahwa segala kreatifitas dan perubahan yang Ia bawa bukanlah untuk kepentingan individual, melainkan demi menegakkan keadilan dalam kehidupan publik dan menciptakan kesejahteraan bersama. Karena itulah, Ia mengajarkan sikap yang merdeka terhadap kekayaan (Matius 6:19- 34). Ia juga membuat kecewa orang muda yang kaya, yang secara individualistik berniat menambah kekayaannya dengan meraih pula kekayaan sorgawi (Matius 19:16-26).

Mewarisi budaya kreatif dan inovatif, gereja perdana mampu mengembangkan diri ke luar dari batas-batas etnis dan geografisnya sendiri, menjadi komunitas yang berwawasan global. Tanpa kewirausahaan, kumpulan murid-murid Yesus hanya akan menjadi sebuah sekte keagamaan Yahudi. Dalam gereja perdana, individualitas dihargai bahkan didorong, tetapi tidak boleh sampai merugikan kepentingan bersama. Sebaliknya, justru kepentingan bersama dipenuhi melalui pengembangan potensi individuindividu. Kunci keberhasilan gereja perdana untuk bertahan dan bahkan berkembang dalam situasi yang tidak selalu bersahabat adalah upaya menjaga keseimbangan antara kewirausahaan dalam bentuk pengembangan individualitas yang bersumber pada karuniakarunia pribadi, dan keadilan dalam bentuk pemeliharaan kehidupan komunitas yang didasarkan pada iman, pengharapan dan kasih.

Avatar photo
About Author

Pdt. Em. Prof. Yahya