Pelayanan Antargenerasi

Berbicara tentang pelayanan antargenerasi mengasumsikan adanya sebuah kesadaran bahwa komunitas persekutuan kita bukanlah komunitas yang homogen dari segi usia. Gereja bagaikan keluarga besar yang menyatukan semua orang di dalamnya, dari usia kanak-kanak hingga usia lanjut. Dinamika pertumbuhan gereja berada dalam ketegangan antara keinginan untuk memperkuat persaudaraan dalam heterogenitas usia, dan kebutuhan khusus di setiap generasi usia yang berbeda-beda satu dengan lainnya – dari tahap memahami dan meresponi sesuatu hingga pada tahap mengaktualisasi diri. Bentuk acara yang menggabungkan warga jemaat dari semua usia seringkali dinilai dapat meruntuhkan sekat-sekat generasi, namun tidak dapat mendalam dari sisi materi. Kelompok kategorial usia yang kemudian menjadi sebuah solusi untuk hal ini, di mana kebutuhan tiap generasi dapat dijawab dengan lebih spesifik, namun kemudian juga dilihat memiliki kelemahan yaitu memisahkan antar generasi. Lalu, langkah apa yang sebaiknya dilakukan oleh gereja untuk mengupayakan pertumbuhan?
Mari kita melihat satu per satu bagian dari tema Pelayanan Antargenerasi ini, dimulai dari pemahaman tentang generasi. Teori generasi mulai dikenal sejak tahun 1928. Sebuah tulisan karya Karl Mannheim dari Hongaria (tulisannya baru diterjemahkan dalam bahasa Inggris tahun 1952 dengan judul The Problem of Generations) menunjukkan bahwa ada pengaruh yang sangat kuat dari situasi sosial dan historis terhadap kehidupan seseorang. Orang-orang yang hidup bersama dengan mengalami dan “dibentuk” oleh pengalaman sosio-historis yang sama inilah yang disebut sebagai “satu generasi”. Teori ini berkembang, di mana pada tahun 1991 Neil Howe dan William Strauss merinci pembagian generasi berdasarkan rentang tahun kelahiran, di mana pada rentang tertentu mereka mengalami dan dibentuk oleh peristiwa sosio-historis yang sama. Dalam pembagian itu, lahirlah istilah-istilah sebagai berikut:
- Generasi GI, atau disebut juga The Greatest Generation (tahun kelahiran: 1906 – 1924)
Generasi ini mengalami situasi sulit karena dampak Perang Dunia pertama, yang membentuk mereka menjadi pekerja keras untuk bertahan hidup. Pola pekerja keras ini pula yang diwariskan untuk mendidik generasi berikutnya. - Generasi Silent, atau disebut juga Generasi Builder (tahun kelahiran: 1925 – 1943)
Generasi ini mengalami Perang Dunia kedua pada usia yang sangat muda, dan mereka juga hidup dalam masa kekacauan ekonomi global yang dikenal dengan The Great Depression. Karena krisis global ini, hidup mereka sulit dan serba kekurangan. Pengalaman ini membentuk karakter sangat berhati-hati untuk membelanjakan uang mereka. Terkait pekerjaan dan tanggung jawab, mereka cenderung taat pada hukum dan kewajiban. Generasi Builder juga dikenal memulai penggunaan teknologi terapan dalam kehidupan sehari-hari, yang kemudian menjadi dasar yang terus dikembangkan oleh generasi-generasi berikutnya. - Generasi Baby Boomer (tahun kelahiran: 1944 – 1962)
Generasi ini diberi nama Baby Boomer berdasarkan ledakan populasi setelah Perang Dunia kedua. Dalam keadaan yang “lebih aman” ini mereka punya pengalaman melihat orang tua mereka bekerja keras, namun tidak ingin anak-anak mereka bekerja sekeras itu. Inilah yang merupakan awal perubahan pada generasi-generasi berikutnya, di mana anak-anak yang lahir sesudah generasi Baby Boomer cenderung tidak dibesarkan untuk memiliki karakter pekerja keras. - Generasi X (tahun kelahiran: 1963 – 1981)
Generasi ini mulai terbuka terhadap perubahan. Misalnya, (dalam konteks Amerika Serikat) mereka mulai menerima perbedaan warna kulit. Dalam hal teknologi, generasi X mengalami perkembangan program televisi (antara lain, peluncuran pertama stasiun berita 24 jam melalui CNN), dan juga mulai maraknya CD serta video. Dalam kehidupan bersama, generasi X lebih terbuka untuk terlibat dan berdampak bagi orang lain. Ketika menjadi orangtua, generasi X juga terlibat secara lebih intens dalam pendidikan anak-anaknya. - Generasi Y, dikenal juga sebagai generasi Millenial (tahun kelahiran: 1982 – 1994)
Generasi ini mengalami perkembangan teknologi yang pesat, termasuk perkembangan internet. Perkembangan ini membuat setiap orang semakin merasa dapat mengontrol banyak hal. Generasi Y berorientasi pada komunitas dan mulai menyadari pentingnya peran mereka bagi lingkungan. - Generasi Z (tahun kelahiran:1995 – 2010)
Generasi Z dikenal sebagai generasi yang akrab dengan teknologi, bahkan mengandalkan teknologi untuk komunikasi dan bekerja. Mereka ingin agar di manapun mereka berada, mereka dapat terhubung dengan yang lain dan tetap dapat mengerjakan pekerjaannya. Mereka juga lebih terbuka (inklusif) untuk menerima perbedaan, lebih ekspresif dan spontan. Dalam banyak hal, generasi Z lebih merasa bebas dan percaya diri untuk menentukan pilihannya sendiri dibanding generasi-generasi sebelumnya. - Generasi Alpha (tahun kelahiran: 2011 – 2025)
Anak-anak yang lahir pada rentang waktu ini sangat akrab dengan teknologi dan dunia digital. Keakraban dengan teknologi dan dunia digital berpengaruh pada budaya instan yang berkembang, dan juga pada cita-cita mereka – di mana semakin banyak generasi alpha yang ingin menjadi seperti seseorang yang mereka idolakan di media sosial, atau menjadi vlogger atau YouTuber. Mereka tidak banyak mengetahui awal mula perkembangan teknologi (seperti penggunaan flopy disc, telepon umum, kamera film, dan sebagainya), maupun profesi-profesi yang kini telah tergantikan oleh teknologi.
Demikianlah masing-masing generasi memiliki karakteristik tersendiri, yang kemudian mempengaruhi cara berinteraksi dengan generasi lain. Jika orang-orang dari generasi yang satu tidak memahami generasi yang lain, maka mudah timbul penilaian yang saling menghakimi. Misalnya, dalam hal perubahan, generasi Y dan Z dapat menilai generasi Baby Boomer sulit diajak berubah; sebaliknya, generasi Baby Boomer menilai generasi Y dan Z terlalu cepat berubah, sedikit-sedikit berubah dan tidak menghargai keputusan yang telah diambil jauh sebelumnya. Dalam hal pergaulan, generasi Alpha merasa tidak masalah untuk berbicara secara tatap muka sambil tetap memegang telepon genggam dan memainkannya, sedangkan generasi Baby Boomer atau generasi X mempermasalahkannya, bahkan melabelnya “tidak sopan”. Jika hal ini terus terjadi, akibatnya, timbul ketidaknyamanan dalam berinteraksi antargenerasi. Ada gap atau kesenjangan antar generasi yang perlu dijembatani.
“Pelayanan antargenerasi” bukan sekedar pelayanan yang dilakukan oleh para pelayan dari berbagai generasi. Berbeda dengan kata “multi” (beragam), kata “antar” di sini menunjuk pada kesalingan (istilah yang lebih sering kita dengar: intergenerasi). Para pelayan yang berbeda-beda generasi itu bukan hanya ada di satu tempat untuk secara bersama-sama melayani, melainkan ada interaksi di antara mereka: saling berkomunikasi, saling memberi apresiasi dan bersedia dikoreksi, saling belajar memahami, memperhatikan dan menguatkan, dan seterusnya.
Beberapa Upaya Mendekatkan Generasi yang Berbeda
- Saling Belajar Mengenal
Tak kenal maka tak sayang, demikianlah yang banyak terjadi dalam perjumpaan. Pengenalan antar generasi sangat penting untuk masing-masing generasi dapat menerima, bukan menghakimi orang dari generasi yang lain pada saat ada hal-hal yang terasa berbeda. Untuk mengupayakan hal ini misalnya, tema terkait perbedaan karakteristik generasi-generasi dapat dimasukkan dalam acara seminar, atau sarasehan santai, dengan mengundang warga jemaat dari berbagai kategori usia untuk dapat mempercakapkannya. Dalam merumuskan visi dan misi jemaat, serta dalam perencanaan program kerja Badan Pelayanan Jemaat, hal perbedaan di antara generasi-generasi ini juga perlu diberi perhatian, agar kalimat-kalimat yang muncul dalam perumusan visi dan misi tersebut dirasa “merangkul” dan kontekstual. (Dengan demikian, Majelis Jemaat serta pengurus badan pelayanan jemaat perlu dibekali juga tentang hal ini.) Dengan saling mengenal karakteristik generasi yang lain, pemikiran-pemikiran yang positif dapat dikembangkan untuk saling merangkul dan bekerjasama. Kepercayaan dapat dibangun, sehingga jika ada beberapa perubahan yang perlu dilakukan oleh pribadi-pribadi untuk menyesuaikan diri dengan orang-orang dari generasi lain, semua itu dilihat sebagai sebuah kesediaan untuk berbagi ruang, bukan sebuah tuntutan. Maka pelayanan antar generasi dapat terwujud sebagai sebuah kerinduan, dan bukan sebuah “keharusan” untuk menciptakan kebersamaan antar generasi di tengah jemaat. (Catatan: terkait proses belajar bersama, penulis mereferensikan untuk membaca buku Pembangunan Jemaat Intergenerasional yang diterbitkan oleh BPMSW GKI SW Jawa Tengah, terbutan Yayasan Taman Pustaka Kristen Indonesia, 2022.) - Pengenalan dalam perjumpaan sehari-hari
Selain pengenalan dalam hal mengetahui karakteristik yang berbeda-beda itu, setiap generasi juga perlu berjumpa dengan generasi yang lain dalam perjumpaan yang natural sehari-hari. Pengadaan ruang publik di gereja menjadi penting untuk membangun relasi ini. Kantin gereja, misalnya, dapat menjadi tempat perjumpaan warga gereja dari berbagai usia. Di sana dapat dikembangkan sapaan dan percakapan sehari-hari, yang akan membantu memperkecil kesenjangan antar generasi. Tempat lain misalnya titik kumpul untuk menunggu jemputan atau taxi online, area parkir, dan sebagainya. Salah satu kegiatan yang telah dilakukan juga di lingkup GKI adalah adanya berbagai kegiatan di wilayah-wilayah cakupan pelayanan gereja. Kegiatan di wilayah-wilayah itu pun dapat menjadi sarana perjumpaan antargenerasi, yang kemudian dapat semakin dikembangkan lagi dalam perjumpaan sehari-hari sebagai tetangga dan bagian dari masyarakat. Untuk hal ini, perlu dipikirkan agar kegiatan di wilayah juga kontekstual untuk dihadiri dan dilayani bersama oleh warga jemaat dari usia kanak-kanak hingga usia lanjut. - Kolaborasi
Dalam lingkup GKI, ada sebuah wadah yang selama ini sudah disediakan untuk pelayanan kolaboratif antargenerasi, yaitu pada Bulan Keluarga. Namun demikian, dengan kesadaran bahwa warga jemaat kita heterogen dari segi usia, maka pelayanan antargenerasi sebaiknya tidak hanya dilakukan selama Bulan Keluarga. Kegiatan di Badan-badan Pelayanan Jemaat dapat diarahkan untuk menjadi pelayanan antargenerasi, misalnya dalam Paduan Suara, pelayanan musik, kepanitiaan hari raya gerejawi, kehadiran orangtua untuk ikut melayani di Sekolah Minggu baik secara berkala maupun dalam event khusus, dan sebagainya. Program kerjasama dua atau lebih badan pelayan jemaat juga dapat dilakukan, misalnya ibadah bersama bagi jemaat remaja, pemuda, dewasa muda, dan dewasa; atau talkshow yang diselenggarakan secara kolaboratif oleh Komisi Dewasa dan Komisi Usia Lanjut (dengan tema menarik yang beririsan dengan kedua kelompok kategori usia ini, misalnya tentang relasi mertua dan menantu), atau pelatihan penggunaan gadget bagi warga usia lanjut yang dilakukan oleh jemaat pemuda atau dewasa muda. Ide-ide lain untuk kolaborasi ini dapat dimunculkan sesuai konteks masing-masing, dengan dasar kerinduan untuk memperjumpakan dan saling berbagi antara berbagai generasi dalam satu kegiatan bersama. Selain kegiatan di badan pelayanan jemaat, tentu ibadah Minggu pun dapat dirancang untuk menjadi ibadah intergenerasi. Satu catatan penting dalam hal ini adalah untuk mengupayakan perjumpaan dan interaksi itu benar-benar terjadi antargenerasi, dan bukan hanya menghadirkan jemaat dari berbagai generasi tanpa interaksi di antara mereka. - Intervensi
Yang dimaksud sebagai bagian intervensi di sini adalah upaya-upaya yang dilakukan dengan sengaja, secara terstruktur, untuk membangun perjumpaan serta pelayanan bersama antargenerasi. Misalnya, dengan membentuk sebuah tim untuk memikirkan atau merancang materi pembinaan jemaat yang berkelanjutan (dari sisi teologis, psikologis, sosiologis, dll), pembinaan bagi pegiat badan pelayanan jemaat, pelatihan khusus bagi kelompok pelayan yang merupakan “frontliner” dalam penyambutan jemaat (tim usher, karyawan gereja), maupun merancang dan mendorong komisi-komisi terkait untuk bersama-sama melakukan program-program kolaborasi antargenerasi.

Penutup
Tidak ada satu bentuk pelayanan yang “sempurna” untuk menjangkau semua warga gereja dengan segala keunikannya. Pelayanan antargenerasi memang baik, namun juga bukan berarti yang paling baik dan yang lain kurang baik. Baik atau tidaknya sebuah pelayanan bukanlah tentang menentukan metode apa yang akan dipakai, melainkan bagaimana jemaat meresponi dengan syukur undangan untuk bersama-sama membangun tubuh Kristus. Dinamika di tengah jemaat dapat terjadi dengan menumbuhkan pelayanan antargenerasi tanpa meniadakan pelayanan kategorial usia.
Satu hal yang perlu dibangun bersama dalam pelayanan antargenerasi adalah pengenalan dan penerimaan satu sama lain. Dalam kerinduan inilah kita menghayati kesatuan tubuh Kristus, yang anggota-anggotanya memang banyak dan saling berbeda (termasuk dalam segi usia), namun tidak ada satu pun yang dapat berkata terhadap yang lain: “… aku tidak membutuhkan engkau” (I Korintus 12). Mari tumbuhkan semangat ini, untuk kemudian mewarnai dan mendorong makin banyaknya perjumpaan serta pelayanan antargenerasi, tanpa mengabaikan pentingnya pertumbuhan di setiap generasi.
Daftar Pustaka:
- Mannheim, Karl. ‘The Problem of Generations’, in Karl Mannheim: Essays, edited by Paul Kecskemeti. 1952. Reprint, London: Routledge, 1972.
- Christiani, Tabita. ‘Pendidikan Kristiani Intergenerasional’, dalam buku Pembangunan Jemaat Intergenerasional, editor: Wisnu Sapto Nugroho. Yayasan Taman Pustaka Kristen, 2022.